Rondeaktual.com – Oleh Finon Manullang
Tadi siang, Rabu, 12 Januari 2022, saya mengadakan komunikasi dengan Olympian Indonesia Syamsul Anwar Harahap, 69 tahun. Karena beda umur, saya harus menyebut beliau sebagai “Abang”.
“Abang, berada di mana sekarang?” Itu pertanyaan pertama dari saya.
“Aku sekarang di Medan. Di Jalan Sei Mencirim, Medan Krio, Deli Serdang,” balas Syamsul Anwar Harahap.
Syamsul menambahkan, tidak pernah tidur siang. “Kalau malam, jam delapanan sudah tidur. Pagi pukul 05.30 sudah bangun. Begitu aku setiap hari, sambil mengurus kebun dan menunggu panen. Kadang menulis (untuk Rondeaktual.com), tentang pengalaman masa lalu. Banyak kenangan yang tak terlupakan. Pengalaman hidup sebagai petinju di masa lalu bagus untuk ditulis.”
Syamsul Anwar Harahap lahir di kota Pematang Siantar, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara, 1 Agustus 1952. Syamsul anak dari pasangan Bisman Harahap dan Nauly Siregar.
Syamsul tertarik dengan tinju setelah ibundanya Nauly Siregar bercerita tentang kisah pelari wanita Amerika Serikat, Wilma Rudolph, yang merebut medali emas lari marathon Olimpiade XVII/1960 Roma, Italia.
“Pelari Amerika cacat di kaki akibat polio. Aku juga cacat di tangan akibat polio. Dia bisa aku juga bisa, itu pikiranku, waktu itu,” kenang Syamsul.
Berikut 15 wawancara Syamsul Anwar Harahap, tahun lalu.
1. Siapa orang pertama yang menyuruh berlatih tinju?
Paruhum Siregar (pemenang medali emas kelas menengah PON V/1961 Bandung). Untung ada Paruhum Siregar, sehingga aku menjadi seorang petinju.
Waktu itu aku ulang tahun yang ke-17. Aku tinggal di Medan, di rumah Tulang (Paruhum Siregar). Tidak satu pun orang yang memberikan ucapan selamat ulang tahun, karena memang tidak ada yang tahu kalau aku ulang tahun.
Malam itu aku pergi ke belakang rumah, tempat sasana tinju. Aku kesal. Aku lihat ada sansak. Aku hajar; dam dum dam.
Tulang dengar. Beliau datang melihat aku dan bicara. “Kau bisa jadi petinju, Sul.” Aku kaget, Tulang bilang begitu. Sebelumnya aku tidak pernah latihan tinju, karena tidak mungkin. Tanganku cacat, akibat polio.
2. Siapa saja pelatih yang pernah membimbing sebagai petinju, barangkali masih ingat.
Paling lama Paruhum Siregar, yang mempunyai ilmu jiwa bertinju luar biasa. Misalnya tahun 1970 Kejurda Sumut, pelatih bertanya, siapa lawanmu? Si Purba. Enteng itu. Hadapi dan kalahkan dia. Menjadi juara harus juara yang luar biasa. Itu Paruhum Siregar.
3. Siapa lawan pertama, bertanding di mana, dan siapa pemenangnya.
Sudah tidak ingat. Pernah main lawan Chairuddin. Dia adiknya mantan Gubernur Sumut Syamsul Arifin. Kami bertanding di kelas bantam. Dari situ aku terus naik kelas sampai menguasai kelas welter ringan. Aku main di kelas welter ringan setelah melewati beberapa kelas.
4. Ketika kalah dan ketika menang, bagaimana rasanya?
Tidak puas kalau kalah. Maunya menang. Kalau menang ya harus menang yang luar biasa. Menang KO misalnya, itu termasuk kemenangan yang luar biasa. Pasti puas. Kalau menang angka puas, tapi tidak luar luar biasa.
5. Siapa petinju Indonesia yang pernah menjadi lawan terberat?
Lawan terberat tidak ada. Walaupun kalah waktu melawan Adi (Swandana dari Bali, dalam final kelas welter ringan PON X/1981 Jakarta), aku tidak serius. Kalah lawan Adi, aku anggap biasa saja.
Waktu tinju dulu, hampir semua lawan-lawanku sudah takut duluan sebelum bertanding. Mereka cari kelas lain, yang aku tidak ada di sana.
Kalau aku main, watawan sudah tahu dan sudah pasti berdiri di pinggir ring sambil mengarahkan mulut kamera ke dalam ring. Wartawan senang kalau terjadi knockout.
Di Banda Aceh (STE II/1977) lucu. Kelas welter ringan tinggal satu yang bertahan, semua sudah lari. Akhirnya kelas welter ringan di isi dua petinju. Abangku (Erwin Harahap) main dan juara. Aku naik kelas welter. Jumpa Alfonso Sihombing. Aku juara.
6. Ketika menjadi juara, bonus apa saja yang pernah diterima?
Belum pernah terima bonus. Juara Asia tahun 1977 di Jakarta, dapat bonus dari pengurus tinju, yang nilainya bisa belanja televisi hitam-putih ukuran 22 inci.
Itu bonus pertama sampai sekarang. Dulu kami, aku, Ferry Moniaga, Frans VB, Wiem Gommies, Benny Maniani, tahunya di pelatnas hanya latihan. Tidak memerinkan hadiah. Latihan pagi dan diteruskan sore. Itu saja yang ada dipikiran kami. Belum ada bonus-bonusan, tapi hebat-hebat semua. Juara Asia.
7. Bagaimana bisa menjadi wakil Indonesia di olimpiade?
Ada tim pelatih yang menilai. Siapa yang terbaik dialah yang berangkat.
Di Olimiade Montreal Kanada 1976 hanya dua petinju Indonesia yang berangkat. Kelas welter ringan diwakili Syamsul Anwar, itu aku. Kelas welter diwakili Frans VB.
8. Ketika tiba di olimpiade, bagaimana rasanya?
Sakral sekali. Karena di sana seluruh dunia berkumpul. Petinjunya banyak.
Rasanya ingin membawa olahraga tinju Indonesia lebih jauh lagi. Ingin memenangkan medali olimpiade. Ingin berjalan kaki dengan kepala botak dari Halim ke Senayan, kalau menang.
9. Ketika gagal meraih medali di olimpiade, bagaimana rasanya?
Di situ aku menangis. Hanya sedikit saja salahnya. Paling tidak perunggu aku bisa dapat. Tapi sudahlah. Semuanya sudah berlalu.
Kesalahan kita terjadi waktu latihan di Pintu VI (Stadion Utama Gelora Bung Karno). Kanvas ring tidak ada busanya. Keras sehingga kaki bisa bergerak enteng. Footwork lincah.
Pas main di olimpiade beda. Ring lapis busa satu inci, jadi lembut. Aku hanya bisa menang satu ronde dari tiga ronde. Aku hanya bisa bertanding satu ronde. Kakiku seperi di padang pasir. Sampai sekarang pelatih Rumania masih ingat siapa Syamsul Anwar. Tangannya kecil sebelah tapi bisa bertarung hebat.
10. Setelah tiba di Indonesia dari olimpiade, apa yang ada dalam pikiran?
Banyak. Aku pikir aku bisa wasit/hakim. Aku suka. Aku bisa pelatih. Tapi aku merasa disingkirkan, karena dianggap berbahaya.
Di negara lain, pelatih yang bagus itu disekolahkan sampai tinggi.
11. Untuk bisa menjadi petinju olimpiade, apa saja yang harus dilakukan?
Rebut dulu medali emas Asia, sehingga langkah ke olimpiade terbuka. Kalau dia sudah memenangkan pertandingan final Asia atau final Asian Games, itu sagat bagus. Dia punya peluang besar untuk tampil di olimpiade. Kita semua berharap itu akan terjadi kepada petinju Indonesia.
12. Mungkinkah petinju Indonesia bisa meraih medali di olimpiade mendatang?
Kita lihat saja nanti. Sampai sekarang belum ada petinju Indonesia yang berhasil merebut medali dari ajang olimpiade, meski hanya perunggu.
Aku dan beberapa teman-teman sudah coba tapi gagal. Mungkin yang lain bisa. Ayo, kejar medali olimpiade.
13. Ketika memilih pensiun dari tinju, apa yang dipikirkan?
Sederhana saja, ingin mencetak juara. Tapi semua orang tahu bahwa untuk mencetak juara itu tidak gambang.
14. Setelah pensiun dari tinju, apa saja yang dilakukan?
Sejak wabah virus corona atau sejak bulan Maret 2020, aku tinggal di Paluta (Desa Lantosan, Kabupaten Padang Lawas Utara, Sumatera Utara). Aku ada urus usaha pertanian. Urus kebun. Aku ingin menjadi petani, seperti cita-cita waktu dulu bertinju. Itu yang aku lakukan.
15. Pertanyaan terakhir. Mengapa tidak memilih tinju pro?
Tidak apa-apa.
Aku pernah ditawar oleh tim (Saoul) Mamby (juara dunia WBC kelas welter yunior tahun 1981, yang pernah bertanding di Jakarta melawan Thomas Americo) untuk tiga pertandingan. Kita sudah bicara dan mereka akan siapkan kontraknya. Aku tolak.
Di Surabaya, waktu Rudy Siregar bertanding melawan Kid Ballel, promotornya datang mengajak aku masuk pro. Aku disuruh isi cek berapa saja yang aku minta, untuk menghadapi Wongso Suseno (Sawunggaling, Malang).
Kalau aku terima, itu Stadion 10 Nopember Surabaya pasti penuh penonton. Wongso sangat terkenal di Jawa Timur. Dia paling favorit, waktu itu.
Bukan aku tidak perlu uang. Aku bertanding untuk hobi dan untuk Indonesia. Itu saja.
Ikuti terus wawancara Olympian Indonesia berikutnya, yaitu Frans van Bronckhorst, yang akan tayang di Rondeaktual.com.