Rondeaktual.com- Tinju pro, orang bilang, paling berani melabrak aturan. Rules and regulations seringkali dipermainkan. Petinju menjadi korban.
“Saya pernah main (kejuaraan WBC Asia Pasifik kelas bulu) di Bangkok,” kata Wira Markus Gea, kelahiran di Nias, Sumatera Utara, 4 Maret 1979. “Pada ronde 11, wasit menghentikan pertandingan. Karena dihentikan wasit, maka saya pikir saya adalah pemenangnya. Kalau mengikuti aturan tinju, saya otomatis menang TKO. Ternyata tidak. Mereka mengumumkan lawan saya (Tyson Sonjaturong) adalah pemenangnya. Dia menang angka. Padahal lawan sudah berdarah-darah. Wasit hentikan pertandingan karena sudah tidak berimbang. Tiba-tiba hasilnya dirubah. Saya tidak terima. Om Tourino (Tidar) marah dan protes keras. Kami melakukan perlawanan di Bangkok.”
Kejadian sekitar 20 tahun silam. Tak terlupakan dalam hidup. Polisi datang dan membawa Tourio Tidar dan Wira Markus Gea menjauh dari ring tinju.
“Kami sempat ditahan di ruang tertutup dan disuruh pulang ke hotel. Besoknya kembali ke Indonesia,” Wira meneruskan. “Bayaran saya mereka tahan. Sedih juga. Om Tourino terus berjuang. Setelah nego, barulah promotor mengirim uang ke Indonesia.”
Berdasarkan kontrak, Wira dibayar 1.500 dollar AS.
Wira Markus Gea mengawali latihan tinju di Wira Boxing Camp, Batam, Kepulauan Riau, milik pelatih Erzon Suradi. Itu pada 1996.
Prestasi amatirnya adalah medali perunggu kejurnas yunior 1997 di Manado, Sulawesi Utara.
“Pak Erzon orang pertama yang mengajari saya bermain tinju. Diajari melepaskan jab, berulang-ulang. Kemudian disuruh jab-straight sampai hapal. Karena saya berlatih di Wira Boxing, akhirnya nama Wira menjadi nama depan saya. Kalau nama saya adalah Markus Gea. Ketika memutuskan terjun ke dunia tinju profesional, saya memakai nama Wira Markus Gea. Sampai sekarang.”
Pada tahun 2000, Wira terjun sebagai petinju pro. Wira bernaung di bawah bendera Martelu Boxing Camp Jakarta, bersama pelatih Refly Suith dan Franky Mowoka. Refly pernah menjadi pelatih Ellyas Pical.
Wira menjalani tinju pro hanya dua tahun. Pernah merebut sabuk emas Walikota Bekasi. ”Di kejuaraan nasional kelas ringan yunior saya kalah melawan Rio Saragih.”
Wira memilih cabut dari tinju, setelah mengalami kecelakaan di luar tinju. Tubuhnya kena pisau kemudian menjalani perawatan sampai sembuh.
Tinju tak akan pernah jauh dari hidup Wira Marksu Gea, karyawan Tata Ruang Pemerintah Kota Bekasi. Setelah menggantungkan sarung tinju dan fokus kerja, Wira terpanggil untuk mengurus tinju.
Wira mengabdi untuk tinju. Ia membina anak-anak (usia dini) dari keluarga tidak mampu bahkan dari jalanan. Anak-anak yang sedang mengemis atas perintah orangtua mereka, direkrut.
“Tapi agak susah ya. Kita coba arahkan untuk menjauh dari jalanan, namun mereka memilih kembali ke lampu merah,” Wira menjelaskan.
Wira sekarang menjadi salah satu tokoh tinju Kota Bekasi. Ia bergabung dan menjadi pengurus Persatuan Tinju Amatir Indonesia (Pertina) Kota Bekasi.
Wira mengurus sasana tinju terkenal bernama Esalalan Boxing Camp Bekasi. Sasana tersebut bagian dari Pertina Kota Bekasi, yang terletak di Kayuringin, Komplek Gedung KONI Kota Bekasi.
Sebagai mantan petinju profesional, Wira ikut membina petinju profesional.
“Walaupun tinju pro sedang tertutup akibat pandemic COVID-19, saya tetap membina tinju pro,” Wira menjelaskan. “Ada dua petinju pro yang berlatih di Esalalan Boxing Camp Bekasi. Saya sudah bilang, kalau mau juara ikuti aturan yang ada di sasana. Tidur harus teratur. Tidak boleh main hp sampai tengah malam. Seorang atlet tidak boleh begadang.”
Kedua petinju pro tersebut adalah Hadirman Waruwu, asal Nias, bertanding di kelas bantam. Sudah dua kali naik ring di Metro TV, dua kali menang.
Satu lagi adalah Wandi Primahulu, asal Nias, bertanding di kelas terbang ringan. Wandi sekali bertanding dan menang.
“Pelatihnya adalah saya, karena ini urusan tinju pro. Pelatih yang ada di Esalalan Boxing Camp Bekasi, hanya untuk menangani petinju amatir.”
“Dulu banyak petinju yang berlatih di Esalala Boxing Camp. Ada yang betah ada yang bandel. Tidak serius latihan, akhirnya saya pulangkan ke kampung halamannya di Nias. Saya kembalikan ke orangtua masing-masing. Saya tidak mau tinju sebagai pelarian. Tinju harus ditekuni 100%. Tidak boleh setengah hati. Kalau mau juara harus latihan. Tidak ada juara turun dari langit.” (finon)