Rondeaktual.com
Temon bukan siapa-siapa dalam tinju pro Tanah Air. “Saya hanya seorang mantan petinju pelengkap yang tidak berprestasi. Saya berlatih tinju dengan mendiang Bapak Sutan Rambing di Semarang,” kata Temon, teringat kebesaran nama pelatihnya.
Temon, sarjana pendididk, berusia 35 tahun, ayah dari dua anak. Sekarang bekerja di perusahaan kelapa sawit di Banyuasin, Sumatera Selatan.
Temon adalah nama ring, yang kemudian menjadi Temon Kobra. Temon lahir dengan nama Margianto.
Entah mengapa, petinju pro dari dulu sampai sekarang, lebih suka bertanding dengan nama samaran. Tetapi banyak juga yang naik ring membawa nama lahir.
“Saya lahir di Kecamatan Pulau Rimau, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Saya asli dari keluarga Jawa Tengah, tepatnya Banyumas. Tapi sekarang tinggal di Sumsel, sejak transmigrasi buka tahun 1980 awal.” Temon memulai kisahnya.
Pada tahun 2000, Temon memutuskan pergi ke Semarang untuk mencari ilmu bertinju. Ketika itu Sutan Rambing sedang berada di peringkat atas sebagai pelatih paling banyak melahirkan juara.
“Saya ikut pelatih legendaris Bapak Sutan Rambing. Tidak banyak bertanding. Tidak sukses. Saya merasa gagal di tinju.”
Ketika pertama kali naik ring untuk Sabuk Emas RCTI, Sutan Rambing sempat bingung mau pakai nama apa. “Akhirnya didaftarkan sebagai Temon Kobra. Temon itu nama asal jadi, pemberian dari Wito Ramires (mantan juara Indonesia kelas bantam). Waktu itu kami sparring. Tahu-tahu hidung saya kena telak dan berdarah. Mas Wito sengaja memukul keras. Tidak pengen kelihatan, saya usap dengan sarung tinju seolah tidak sakit, padahal sudah berdarah. Mas Wito bilang: “Mengapa kamu mirip Temon dalam filem perjuangan kemerdekaan.” Mas Chris John yang ada di sebelah saya nyambungin: “Yo wes, dicelok Temon ae yo ben penak.” (Ya sudah, dipanggil Temon saja biar enak). Akhirnya keterusan. Orang-orang tahunya Temon. Kenangan itu sangat kental sekali,” tutur Temon Kobra.
Temon tidak bisa lupa dengan Semarang, kota yang pernah melahirkan banyak juara. Temon punya pengalaman yang besar ketika dirinya bisa latihan bersama dengan beberapa nama yang sudah mengorbit lebih awal antara lain ada Adrian John, Arthur Rambing, Sonny Rambing, Wito Ramires, Khoirul Huda (sekarang terkenal sebagai Satria Antasena), Ferdinand, Chris John, Roy Mukhlis, Gun Tinular, Monte Negro.
“Ada rasa bangga, saya yang kosong pengalaman bisa menjadi sparring partner untuk petinju yang sudah senior,” kenang Temon.
Tahun 2004, Temon merasa gagal di tinju dan pamit untuk mencari pekerjaan di Jakarta. Temon melihat Jakarta bisa memberikan peluang untuk hidup. Tinju selesai. Tidak usah diteruskan, begitu dalam pikiran Temon.
“Nasib berkata lain. Sampai di Jakarta, teman sudah diberhentikan dari pekerjaannya. Kena PHK. Sebelum konyol, saya pergi ke Bandung dan tidak mendapat pekerjaan. Akhirnya diajak tinju lagi dan dilatih mendiang Apling Suyono, ayah Ghalatry Sonny.”
Temon, sekali lagi, gagal lagi gagal lagi. “Saya coba ikut Red Cobra. Saya ditangani Pak Asep Rosadi dan gagal lagi gagal lagi.”
Sebelum pensiun, Temon masih sempat ikut kejuaraan Indonesia kelas bulu sabuk ATI melawan Robert Kopa di Studio TVRI, pada tahun 2010. Wasit Hendra Julio datang menghentikan pertandingan.
“Saya dinyatakan TKO. Rasanya sakit tapi saya terima. Saya harus bisa menghormati putusan wasit. Setelah itu saya pulang kampung ke Banyuasin, Sumatera Selatan, sampai hari ini.”